<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d9124581396883405403\x26blogName\x3dTyka+Kuliah+Lagi\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://kuliahmaneh.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3din\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://kuliahmaneh.blogspot.com/\x26vt\x3d-2616515981519595337', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>
my journey to finish the AKTA 4 program
> home
Assalamualaikum... Welcome to Tyka's blog!


  • Bab 2 Skripsiku (draft)
  • CTL part 2
  • CTL part 1
  • Analisa Sementara
  • Rangkuman Teori Landasan Kependidikan
  • Landasan Kependidikan (4)
  • Landasan Kependidikan (3)
  • Landasan Kependidikan (2)
  • Landasan Kependidikan (1)


  • > monthly archives
    September 2007 | Februari 2008 | Mei 2008 |

    Analisa Sementara
    Jumat, 28 September 2007
    00.25
    Berikut ini adalah hasil analisa sementara:

    A N A L I S A

    Demi menunjang tugas ini, maka tim penulis menyebarkan 75 lembar kuisioner kepada siswa-siswi dari berbagai latar belakang pendidikan, mulai dari SD sampai dengan SMA & STM. Ada sedikit perbedaan pada deretan pertanyaan untuk tiap tingkatan pendidikan (SD – SMP – SMU/STM). Untuk beberapa pertanyaan, kami memberikan kebebasan kepada responden untuk memberikan jawaban lebih dari satu option. Namun hanya beberapa saja yang melakukannya. Mayoritas hanya menjawab 1 option untuk setiap pertanyaannya.

    Definisi kata ‘seksual’

    Jika kita berbicara tentang seks atau jika kita mendengar kata seksual, ada banyak pengertian yang bisa muncul di benak kita. Demikian juga saat kami selaku tim penulis mencoba menanyakan kepada para responden SMP dan SMA/STM kami tentang definisi kata seksual menurut mereka,

    Apakah definisi kata seksual menurut kamu?

    Option
    SMP- SMA/STM
    a. Melakukan hubungan selayaknya pasangan suami – istri
    31
    b. Gambar/ film/ bacaan yang berhubungan dengan pornografi.
    4
    c. Pengetahuan seputar alat reproduksi/ organ genital.
    36


    Dari jawaban diatas, dimana beberapa responden memberikan jawaban ganda, kami bisa menganalisa bahwa perbandingan antara jumlah siswa/i yang menganggap bahwa definisi seksualitas adalah berkaitan dengan hubungan suami-istri, adalah sebanding dengan siswa/i yang beranggapan bahwa definisi kata diatas bisa bermakna kepada pengetahuan seputar alat reproduksi. Berbekal hasil dari jawaban diatas, kami berpendapat bahwa siswa/i pun kini juga sudah memiliki kesadaran kepada pengetahuan seputar alat reproduksi/ organ genital.

    Sumber informasi berkaitan dengan isu seksual

    Jika sebagian orang tua menganggap bahwa isu ini masih merupakan hal yang tabu untuk dibicarakan maupun berdiskusi (“Bila Anak Bertanya soal Alat Reproduksi“, http://situs.kesrepro.info), bagaimana halnya dengan remaja kita? Pertanyaan berikut diajukan kepada responden SMP dan SMA/STM :

    Bagaimana perasaan anda bila, bertanya-jawab atau berdiskusi tentang seksualitas?


    SMP dan SMA/STM
    a. Biasa saja, karena anda sudah bukan anak kecil lagi.
    35
    b. Risih atau menghindar, karena menganggap hal itu tabu.
    2
    c. Senang- tanggap aktif.
    15


    Pertanyaan selanjutnya ditujukan kepada responden ditingkatan SMP, mengarah kepada sumber pengetahuan mereka tentang seksualitas,

    Pertama kali kamu mendapatkan pengetahuan tentang seksualitas, adalah dari?


    SMP
    a. orang tua
    1
    b. Guru
    4
    c. Teman sebaya
    7
    d. Media (internet, VCD, buku, majalah, dll)
    11


    Hanya 5 orang responden SMP yang menjawab bahwa mereka mendapatkan informasi tentang seksualitas, untuk pertama kalinya dari orang tua – guru. Jumlah ini hanyalah separuhnya dari jumlah responden yang menjadikan media cetak- elektronika sebagai sumber informasi mereka (11 orang). Dan lantas, mereka pun selanjutnya lebih mempercayakan media cetak- elektronika sebagai sumber pengetahuan seksualitas, seperti yang bisa dilihat pada pertanyaan dibawah ini, masih untuk responden SMP:

    Untuk selanjutnya, dari manakah kamu mendapatkan pengetahuan tentang seksualitas?

    SMP
    a. orang tua
    1
    b. Guru
    5
    c. Teman sebaya
    6
    d. Media (internet, VCD, buku, majalah, dll)
    11

    Ironis memang, untuk isu sepenting ini, bisa terlihat bahwa responden SMP kami tidak mempercayakan orang tua sebagai sumber pengetahuan seputar seks/ seksualitas. Hal ini tentu bisa menjadi masukan bagi para orang tua untuk lebih introspeksi: mengapa anak-anak mereka lebih percaya media cetak- elektronika, dibanding percaya kepada mereka?

    Base line survey yang dilakukan oleh Youth Centre PKBI di beberapa kota (Cirebon, Tasikmalaya, Singkawang, Palembang, dan Kupang) tahun 2001 mengungkapkan bahwa pengetahuan remaja tentang seksualitas dan kesehatan reproduksi terutama didapat dari teman sebaya, disusul oleh pengetahuan dari televisi, majalah atau media cetak lain, sedang orang tua dan guru menduduki posisi setelah kedua sumber tadi.
    (dikutip dari : “Peer Education”, http://hqweb01.bkkbn.go.id)


    Sementara itu untuk responden tingkat SMA/STM, kami memberikan pertanyaan yang lebih mendetil, memisahkan antara dari siapa dan dari mana mereka mendapatkan informasi tentang seksualitas :

    Dari siapa-kah, kamu mendapatkan informasi tentang seksualitas ?


    SMA/STM
    a. Orang tua
    5
    b. Guru
    2
    c. Teman sebaya
    22
    d. Orang lain
    4


    Jawaban mereka bukan merupakan fakta yang mengejutkan; bahwa dikalangan remaja kita acap kali terdapat rasa keingintahuan tentang seksualitas, yang diwujudkan dalam bentuk diskusi antar teman.

    Remaja menghabiskan banyak waktu mereka dengan berinteraksi secara sangat dekat dengan teman sebayanya, dibanding dengan orang tua atau anggota keluarga lain. Dengan intensitas hubungan seperti itu, tidak heran kalau sumber informasi yang dianggap paling penting oleh remaja adalah yang berasal dari sesama remaja sendiri. Informasi yang beredar di kalangan berupa informasi yang sangat penting seperti masalah seksualitas dan kesehatan reproduksi.
    (dikutip dari : “Peer Education”, http://hqweb01.bkkbn.go.id)

    Hal ini sekaligus menimbulkan kekhawatiran bagi kami selaku tim penulis, bahwa remaja lebih memilih untuk percaya kepada teman sebaya-nya dibanding kepada orang tua dan guru, padahal hasil dari diskusi antar teman belum tentu seakurat informasi yang bisa diberikan oleh orang tua dan guru.

    Kalau remaja mempunyai pengetahuan yang memadai, maka dia akan dapat memberikan pengetahuan ini kepada temannya. Sebaliknya, apabila pengetahuan remaja tentang seksualitas dan kesehatan reproduksi rendah, maka yang beredar di kalangan remaja adalah informasi yang tidak dapat dipertanggung jawabkan, termasuk mitos-mitos yang menyesatkan.
    (dikutip dari : “Peer Education”, http://hqweb01.bkkbn.go.id)

    Pertanyaan selanjutnya,

    Dari mana-kah kamu mendapatkan informasi tentang seksualitas ?


    SMA/STM
    a. Internet
    5
    b. VCD/ film
    5
    c. Media cetak (buku, Koran, majalah)
    24

    Dari sumber media yang dipercaya oleh responden bisa terlihat bahwa responden tingkat SMA/STM mempercayai media cetak dibanding kepada media elektronika.

    Dan dari pertanyaan selanjutnya (khusus untuk responden SMA/STM), ditemukan fakta bahwa 15 orang (dari total 28 responden) pernah mengkonsumsi film/ bacaan yang berkaitan dengan pornografi / yang berkaitan dengan kesehatan alat reproduksi/ organ genital. Serta, hasil dari pertanyaan terpisah mengungkapkan bahwa

    Pertanyaan selanjutnya masih untuk responden SMA/STM:

    Pernahkah kamu mengkonsumsi film/ bacaan yang berkaitan dengan pornografi / yang berkaitan dengan kesehatan alat reproduksi/ organ genital?


    SMA/STM
    Pernah
    15
    Tidak pernah
    13

    Pertanyaan serupa kami ajukan kepada responden SD:

    Dari mana kamu pernah mendapat informasi tentang seks?


    SD
    a. Guru
    6
    b. Orang tua
    2
    c. Teman
    3
    d. Media (TV, Koran, majalah, radio)
    2


    Pertanyaan berikutnya, ditujukan untuk responden SMP dan SMA/STM lebih menjurus kepada apakah media (cetak dan elektronika) menjadi sumber mereka untuk menambah wawasan dibidang seksual :

    Jika kamu mengakses Internet, apakah kamu pernah membuka website atau situs porno, ataupun yang berkaitan dengan kesehatan alat reproduksi/ organ genital?


    SMP dan SMA/STM
    Pernah
    22
    Tidak pernah
    29


    Sejauh ini, dari hasil kuisioner dapat dilihat bahwa media cetak dan elektronika berpengaruh dalam menambah wawasan siswa SMP- SMA/STM dibidang seksual.

    Masalah seks, sesering apapun dibicarakan, tetap bikin penasaran. Apalagi sekarang makin banyak beredar VCD porno yang sampai ke tangan kita. Zaman gini hari, ketika hal-hal yang berbau seksualitas muncul di setiap sudut, bukan hal sulit mencari film beradegan esek-esek serta tulisan atau gambar-gambar yang mengundang. Tak hanya di kota besar, di kota kecil pun hal-hal semacam itu berserakan. Begitu mudahnya informasi tersebut didapatkan, semudah kita membeli coke.

    Namun, yang perlu dipertanyakan adalah apakah mereka merasa ingin untuk mendapatkan edukasi tentang seksual atau tidak?

    Apakah kamu menginginkan adanya pendidikan (kaitannya dengan kesehatan alat reproduksi/ organ genital?


    SMP- SMA/STM
    a. Ya
    64
    b. Tidak
    10


    Bisa dilihat dari hasil, bahwa mayoritas menginkan adanya edukasi/ pendidikan seksual, kaitannya dengan dengan kesehatan alat reproduksi/ organ genital. Tapi ada juga responden yang tidak menginginkannya. Alasan mereka antara lain: ‘Belum pengen tau, ntar juga tau-tau sendiri’ dan ‘Pasti ga bakal jadi serius, cuma dibuat jadi bahan bercandaan dan nantinya akan ada pelecehan seksual’.

    Untuk responden SMP yang tidak menginginkan pendidikan seksual, mayoritas mereka beralasan bahwa seks adalah hal yang menjurus kepada pornografi. Tetapi dari hasil pertanyaan diatas ini, dapat terlihat jika 64 orang menghendaki adanya pendidikan seks karena mereka berpendapat salah satunya untuk pencegahan penyakit menular seksual, HIV/AIDS. Dari sini bisa terlihat bahwa pengaruh globalisasi menyebabkan ketidak-canggungan remaja jaman sekarang untuk membicarakan masalah seksualitas dan mereka mendambakan adanya sarana dan orang yang tepat untuk bertanya. Hal ini pun berkaitan dengan pertanyaan berikutnya adalah,



    Dan pertanyaan final, untuk menjawab judul makalah ini, adalah:

    Menurut kamu, apa dampak dari, media cetak / elektronika dalam memberikan informasi dan pengaruhnya tentang pengetahuan seks / seksualitas?


    SMP dan SMA/STM
    a. Secara positif (dalam pengertian : kesehatan alat reproduksi/ organ genital)
    32
    b. secara negative (dalam pengertian : pornografi )
    24


    32 responden menjawab bahwa mereka mendapat pengaruh positif (dalam pengertian : kesehatan alat reproduksi/ organ genital), sementara 24 responden mengaku mendapat pengaruh negatif (dalam pengertian : pornografi). Dari sini bisa dilihat, bahwa responden yang notabene masih remaja, hampir separuhnya mengakui bahwa media cetak memberikan dampak yang kita tidak inginkan bersama, yaitu dampak negative yang berkaitan dengan pornografi.

    Label:


    |

    Rangkuman Teori Landasan Kependidikan
    00.19
    Di bawah ini adalah rangkuman Teori untuk mensupport penulisan makalah serta hasil kuisioner. Dibagi menjadi topik-topik : PENDIDIKAN SEKS ,DAMPAK MEDIA CETAK ELEKTRONIKA, PENGARUH TEMAN, ORANG TUA > SEKS ITU TABU dan REMAJA TERJERAT PORNOGRAFI

    PENDIDIKAN SEKS

    [http://hqweb01.bkkbn.go.id/hqweb/ceria/map55sekolah.html]

    Sekolah Pendidikan Seks Ala Ayu

    Zaman sudah berubah, salah satunya adalah makin bebasnya informasi termasuk informasi soal seks yang cukup memprihatinkan. Dengan teknologi dunia menjadi tidak berbatas lagi. Anak-anak sekarang bisa dengan bebas dan leluasa menerima informasi, baik yang positif maupun negatif, internet, surat kabar, tabloid majalah, radio dan televisi makin gampang seks dipapar secara terbuka. Semua itu membuat orang tua seolah tak berdaya dalam upaya membatasi pengaruh yang diterima anak.


    Alasan kami mengembangkan program ini, latar belakangnya karena saya sebagai orang tua sangat concern dengan perkembangan pergaulan anak-anak zaman sekarang. Sekarang ini kita sebagai orang tua harus mulai memberikan perhatian khusus mengenai hal ini (pendidikan seks-Red) karena dunia kita sudah tidak berbatas lagi, ujar Ayu.

    Diakui hadirnya sekolah pendidikan seks tersebut sempat mendapat respon kurang baik. Ada anggapan dari sebagian orang tua bila anak-anak mendapatkan pendidikan seks, jangan-jangan justru akan mendorong hasrat seksual si anak.

    Padahal tujuan pemberian pendidikan seks pada anak-anak bukan menyinggung soal hubungan seksi tapi lebih pada perilaku seks mereka. Maksudnya supaya mereka bisa tertata dengan lebih baik . lebih ditekankan pada tahapan. Misalnya anak laki-laki apa tanggung jawabnya dan perempuan apa yang harus dijaga. Juga mengenai alat reproduksi mereka serta perubahan dalam tubuhnya, jelas Ieda Poernomo.

    Berdirinya parasti dimaksudkan memberi wadah kepada masyarakat yang belum mampu memberikan pendidikan seks untuk anak-anak, memang sebenarnya lebih efektif adalah orang tua tapi kalau orang tua belum siap bagimana ? apa anak harus dibiarkan saja ? ucap Ieda. Untuk itu parasti juga membuka kelas untuk orang tua, jadi kita harus memberikan bimbingan untuk orang tua imbuh Ieda.



    [http://www.gatra.com/2006-03-31/komentar.php?cid=78239]
    Aborsi di Indonesia, Dua Juta Kasus Per Tahun


    Sementara Das`ad Latif mengatakan, mengajarkan pendidikan sex itu sebenarnya dalam Islam, tidak dilarang. Yang dilarang sebenarnya adalah mengumbar syahwat. Namun dalam penyampaian pendidikan seks ini, hanya sedikit media yang melakukannya, yang justru dilakukan adalah membuat tayangan ataupun sajian yang mengarahkan orang menggunakan media massa itu termotivasi melakukan hal-hal negatif, misalnya pemerkosaan, pelecehan seksual dan sebagainya.

    ---

    Sebaiknya pendidikan seks harus diajarkan saat usia anak-anak belum mendapat menstruasi. Jika terjadi, mereka tidak panik dan tahu bahwa menstruasi itu bagus, dan berarti normal.


    [http://www.ums.ac.id/fakultas/psikologi/modules.php?name=News&file=article&sid=17]
    Pendidikan Seksual Pada Remaja
    Dipublikasi pada Thursday, 02 September 2004 oleh admin

    Psikologi Pendidikan arina writes:


    Pandangan sebagian besar masyarakat yang menganggap seksualitas merupakan suatu hal yang alamiah, yang nantinya akan diketahui dengan sendirinya setelah mereka menikah sehingga dianggap suatu hal tabu untuk dibicarakan secara terbuka, nampaknya secara perlahan-lahan harus diubah. Sudah saatnya pandangan semacam ini harus diluruskan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dan membahayakan bagi anak dan remaja sebagai generasi penerus bangsa. Remaja yang hamil di luar nikah, aborsi, penyakit kelamin, dll, adalah contoh dari beberapa kenyataan pahit yang sering terjadi pada remaja sebagai akibat pemahaman yang keliru mengenai seksualitas.

    Adapun faktor-faktor yang dianggap berperan dalam munculnya permasalahan seksual pada remaja, menurut Sarlito W. Sarwono (Psikologi Remaja,1994) adalah sebagai berikut :

    5. Orangtua sendiri, baik karena ketidaktahuannya maupun karena sikapnya yang masih mentabukan pembicaraan mengenai seks dengan anak, menjadikan mereka tidak terbuka pada anak, bahkan cenderung membuat jarak dengan anak dalam masalah ini.

    Pendidikan Seksual

    Menurut Sarlito dalam bukunya Psikologi Remaja (1994), secara umum pendidikan seksual adalah suatu informasi mengenai persoalan seksualitas manusia yang jelas dan benar, yang meliputi proses terjadinya pembuahan, kehamilan sampai kelahiran, tingkah laku seksual, hubungan seksual, dan aspek-aspek kesehatan, kejiwaan dan kemasyarakatan. Masalah pendidikan seksual yang diberikan sepatutnya berkaitan dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat, apa yang dilarang, apa yang dilazimkan dan bagaimana melakukannya tanpa melanggar aturan-aturan yang berlaku di masyarakat.

    Beberapa ahli mengatakan pendidikan seksual yang baik harus dilengkapi dengan pendidikan etika, pendidikan tentang hubungan antar sesama manusia baik dalam hubungan keluarga maupun di dalam masyarakat. Juga dikatakan bahwa tujuan dari pendidikan seksual adalah bukan untuk menimbulkan rasa ingin tahu dan ingin mencoba hubungan seksual antara remaja, tetapi ingin menyiapkan agar remaja tahu tentang seksualitas dan akibat-akibatnya bila dilakukan tanpa mematuhi aturan hukum, agama dan adat istiadat serta kesiapan mental dan material seseorang. Selain itu pendidikan seksual juga bertujuan untuk memberikan pengetahuan dan mendidik anak agar berperilaku yang baik dalam hal seksual, sesuai dengan norma agama, sosial dan kesusilaan (Tirto Husodo, Seksualitet dalam mengenal dunia remaja, 1987)


    Dalam memberikan pendidikan seks pada anak jangan ditunggu sampai anak bertanya mengenai seks. Sebaiknya pendidikan seks diberikan dengan terencana, sesuai dengan keadaan dan kebutuhan anak.



    DAMPAK MEDIA CETAK ELEKTRONIKA

    http://hqweb01.bkkbn.go.id/hqweb/ceria/map76more.html]
    More Sex (Education), Please
    Kompas, Jum'at 02 Mei 2003, halaman 28

    MASALAH seks, sesering apapun dibicarakan, tetap bikin penasaran. Apalagi sekarang makin banyak beredar VCD porno yang sampai ke tangan kita. Kali ini, kita sudah betul-betul memerlukan informasi soal seks yang pas.

    Apalagi di zaman gini hari, ketika hal-hal yang berbau seksualitas muncul di setiap sudut, bukan hal sulit mencari film beradegan esek-esek serta tulisan atau gambar-gambar yang mengundang. Tak hanya di kota besar, di kota kecil pun hal-hal semacam itu berserakan. Begitu mudahnya informasi tersebut didapatkan, semudah kita membeli coke.


    [http://hqweb01.bkkbn.go.id/hqweb/ceria/map63virginitas.html]
    Virginitas dan Remaja kita

    sementara pada masa globalisasi seperti sekarang ini budaya Barat sangat diakrabi remaja kita Adalah Anindya Mutiara Dianingrum. Berusia 17 tahun, siswi SMU Labshcool Jakarta Program Akselerasi (masa tempuh SMU hanya dua tahun) yang telah melakukan studi ini. Anin menyebar kuesioner secara acak dengan sistem sample kepada 24 remaja putri dan 12 remaja putra dari beberapa sekolah di Jakarta pada kurun 1 sampai 7 Desember 2001.Hasil dari studi ini memperlihatkan bahwa remaja putra maupun putri kebanyakan sudah pernah menonton atau membaca film atau buku porno,


    [http://www.gatra.com/2006-03-31/komentar.php?cid=78239]
    Aborsi di Indonesia, Dua Juta Kasus Per Tahun

    [Dari fenomena yang terjadi itu, maka pihak Media Sollution tertantang untuk menggelar acara tersebut dengan menghadirkan Zaskia Adya Mecca, artis dari Jakarta, Ismarli Muis, psikolog dari Universitas Negeri Makassar (UNM), dr Fatmawati Madya, SPOG dari RS Regional Wahidin dan Das`ad Latif, MSi, pengamat media dari Universitas Hasanuddin.

    Data Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization-WHO) mengenai kasus aborsi tersebut terungkap pada pada Talk Show `Virginitas dan Fenomena Aborsi` yang digelar di Makassar, Sabtu]


    Namun yang paling banyak berpengaruh terhadap perkembangan kepribadian seseorang adalah lingkingan yang dimulai ketika memasuki usia sekolah.

    "Lingkungan di sini, bukan saja dengan orang lain di luar anggota keluarga, tetapi juga termasuk media, baik media cetak maupun elektronik," ujarnya.


    Dalam acara talk show tersebut, Das`ad yang juga pengajar di Fakultas Sosial dan Ilmu Politik Unhas dan Ketua Da`i Muda Sulsel mengatakan, media mempunyai indil besar dalam merusak moral bangsa.


    [http://www.ums.ac.id/fakultas/psikologi/modules.php?name=News&file=article&sid=17]
    Pendidikan Seksual Pada Remaja
    Dipublikasi pada Thursday, 02 September 2004 oleh admin

    Psikologi Pendidikan arina writes:

    Dari sumber informasi yang berhasil mereka dapatkan, pada umumnya hanya sedikit remaja yang mendapatkan seluk beluk seksual dari orang tuanya. Oleh karena itu remaja mencari atau mendapatkan dari berbagai sumber informasi yang mungkin dapat diperoleh, misalnya seperti di sekolah atau perguruan tinggi, membahas dengan teman-teman, buku-buku tentang seks, media massa atau internet.

    Adapun faktor-faktor yang dianggap berperan dalam munculnya permasalahan seksual pada remaja, menurut Sarlito W. Sarwono (Psikologi Remaja,1994) adalah sebagai berikut :


    4. Kecenderungan pelanggaran makin meningkat karena adanya penyebaran informasi dan rangsangan melalui media masa yang dengan teknologi yang canggih (cth: VCD, buku stensilan, Photo, majalah, internet, dan lain-lain) menjadi tidak terbendung lagi. Remaja yang sedang dalam periode ingin tahu dan ingin mencoba, akan meniru apa dilihat atau didengar dari media massa, karena pada umumnya mereka belum pernah mengetahui masalah seksual secara lengkap dari orangtuanya.


    [http://hqweb01.bkkbn.go.id/hqweb/ceria/map124waspadai.html]
    Waspadai Seks Bebas Kalangan Remaja
    Majalah Gemari, September 2001


    Factor yang melatarbelakangi hal ini, ujar Boyke, antara lain disebabkan berkurangnya pemahaman nilai-nilai agama. Selain itu, juga disebabkan belum adanya pendidikan seks secara formal di sekolah-sekolah. Selain itu, juga maraknya penyebaran gambar serta VCD porno.

    Kepala PSW-UII [Pusat Studi Wanita Universitas Islam Indonesia (PSW-UII) Yogyakarta] Dra Trias Setiawati, Msi. : Ditambahkannya, munculnya perilaku seks bebas di kalangan remaja yang marak belakangan ini tidak terlepas dari pengaruh era globalisasi,


    [http://hqweb01.bkkbn.go.id/hqweb/ceria/map118remaja.html]
    Remaja, Kenali Organ Tubuhmu
    Majalah Gemari, Juli 2002


    Peran media massa, diakui Maria Hartiningsih, wartawan senior Harian Kompas, mampu membentuk realitas dari kehidupan. Ketika menghadapi dorongan seks luar biasa, penyaluran yang dibayangkan remaja adalah hubungan seksual. Dan berbagai media yang menyalurkan minat mereka itu, tersedia di mana-mana dengan murahnya Dan membawa remaja pada perilaku tidak benar.



    [http://situs.kesrepro.info/krr/mei/2005/krr03.htm]
    Bila Anak Bertanya soal Alat Reproduksi


    Berbagai informasi yang diserap anak bisa berakibat negatif jika tidak diberi bimbingan. Terutama dengan maraknya tontonan di televisi dan internet yang bisa diakses secara bebas oleh anak.



    http://hqweb01.bkkbn.go.id/hqweb/ceria/map89pengaruh.html]
    Pengaruh Tayangan TV


    Ini disebabkan pergaulan yang terlalu bebas dan tontonan yang kurang terkontrol. Kebanyakan stasiun televisi menayangkan film-film tentang kehidupan pergaulan yang bersifat liberal.


    PENGARUH TEMAN

    [http://hqweb01.bkkbn.go.id/hqweb/ceria/map118remaja.html]
    Remaja, Kenali Organ Tubuhmu
    Majalah Gemari, Juli 2002

    Celakanya, remaja umumnya kurang mengenali organ tubuhnya. Tidak sedikit di antara mereka yang bertanya pada teman sebaya tentang perubahan fisik yang dialami. Dan tidak sedikit pula diantaranya yang terjebak informasi salah.

    Tingkat Pemahaman remaja yang dipengaruhi mitos-mitos lingkungan sekitar, khususnya dari teman sebaya, ungkap Guntoro Utamadi, Psikolog yang juga pengasuh rubik Curhat di harian Kompas, dapat membahayakan perkembangan mental remaja bila tidak segera didampingi oleh orang yang dipandang tepat memberi informasi yang benar.


    "Jadi sudah waktunya kita menerima kenyataan bahwa remaja butuh informasi pendampingan Dan penddidikan yang baik tentang kesehatan reproduksi Dan seksualitas serta pelayanan yang ramah terhadap remaja," paparnya.


    [http://hqweb01.bkkbn.go.id/hqweb/ceria/map63virginitas.html]
    Virginitas dan Remaja kita
    pada masa remaja anak memang lebih mendengarkan perkataan temannya ketimbang orang tuanya.

    Nah. Bisa dibayangkan biola remaja mencari jawab bagi permasalahannya yang kompleks itu hanya melalui teman-teman sebayanya yang notabennya masih mencari, mencoba dan meraba-raba segala sesuatu



    http://hqweb01.bkkbn.go.id/hqweb/ceria/map5peer.html]
    "Peer Education"

    SEBAGAI remaja, waktu kita lebih banyak kita habiskan dengan teman sesama remaja daripada dengan orang tua atau anggota keluarga lain. INTERAKSI yang intensif ini juga, disertai oleh fenomena yang disebut peer pressure atau tekanan teman sebaya. Kita tentunya bisa merasakan betapa besar pengaruh-teman sebaya dalam kehidupan kita sehari-hari
    Dengan intensitas hubungan seperti itu, tidak heran kalau sumber informasi yang dianggap paling penting oleh remaja adalah sesama remaja sendiri. Informasi yang beredar di kalangan berupa informasi yang sangat penting seperti masalah seksualitas dan kesehatan reproduksi.

    Dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada dirinya dari masa kanak-kanak menjadi dewasa, remaja sangat terdorong untuk mencari tahu informasi seputar seksualitas. Base line survey yang dilakukan oleh Youth Centre PKBI di beberapa kota (Cirebon, Tasikmalaya, Singkawang, Palembang, dan Kupang) tahun 2001 mengungkapkan bahwa pengetahuan remaja. tentang seksualitas dan kesehatan reproduksi terutama didapat dari teman sebaya, disusul oleh pengetahuan dari televisi, majalah atau media cetak lain, sedang orang tua dan guru menduduki posisi setelah kedua sumber tadi.

    Oleh karena itulah, pengetahuan reproduksi juga mempengaruhi dan dipengaruhi oleh pengetahuan teman-teman sebayanya (peer). Kalau peer mempunyai pengetahuan yang memadai, maka dia akan dapat memberikan pengetahuan ini kepada temannya. Sebaliknya, apabila pengetahuan remaja tentang seksualitas dan kesehatan reproduksi rendah, maka yang beredar di kalangan remaja adalah informasi yang tidak dapat dipertanggung jawabkan, termasuk mitos-mitos yang menyesatkan. Hal ini tentunya sangat membahayakan, apalagi mengingat bahwa mitos yang menyesatkan tadi bisa berakibat fatal terhadap masa depan remaja itu. Bayangin aja kalau karena kurang pengetahuan atau mempercayai mitos yang salah, seorang remaja sampai hamil atau tertular penyakit menular seksual (PMS).





    ORANG TUA > SEKS ITU TABU

    [http://hqweb01.bkkbn.go.id/hqweb/ceria/map55sekolah.html]
    Sekolah Pendidikan Seks Ala Ayu

    Diakui hadirnya sekolah pendidikan seks tersebut sempat mendapat respon kurang baik. Ada anggapan dari sebagian orang tua bila anak-anak mendapatkan pendidikan seks, jangan-jangan justru akan mendorong hasrat seksual si anak.


    Berdirinya parasti dimaksudkan memberi wadah kepada masyarakat yang belum mampu memberikan pendidikan seks untuk anak-anak, memang sebenarnya lebih efektif adalah orang tua tapi kalau orang tua belum siap bagimana ? apa anak harus dibiarkan saja ? ucap Ieda. Untuk itu parasti juga membuka kelas untuk orang tua, jadi kita harus memberikan bimbingan untuk orang tua imbuh Ieda.

    Apa yang diwujudkan Ayu dan rekannya adalah salah satu langkah untuk mendobrak budaya tabu bicar seks karena menurut Ayu kalau kita sudah mengerti betul urgensi pendidikan maka tidak perlu ada yang tabu lagi dalam hal ini.


    [http://situs.kesrepro.info/krr/mei/2005/krr03.htm]
    Bila Anak Bertanya soal Alat Reproduksi

    Pasalnya, selain orang tua kurang memahami pengetahuan seks, mereka juga kurang yakin dengan pandangan seks dan timbulnya perasaan malu karena menganggap seks sebagai hal yang tabu.

    Selama ini, kata Harliem, hanya ibu atau istri yang melaksanakan pendidikan anak termasuk pendidikan seks. Padahal ada beberapa hal lebih mengena bila diberikan oleh ayah atau suami. Untuk itu, ia mengharapkan ayah juga menjadi pendidik terutama bagi anak laki-lakinya


    [http://hqweb01.bkkbn.go.id/hqweb/ceria/map120sex.html]
    'Sex Education' Pada Remaja Alami Kendala
    Majalah Gemari, Maret 2002


    Masih minimnya tingkat pengetahuan sebagian orang tua dalam memberi pendidikan kesehatan reproduksi pada anaknya yang sudah berangkat remaja, mendorong munculnya permasalahan baru bagi generasi selanjutnya. Seperti, menikah usia muda, hamil di luar nikah

    Namun, diakui Dr Joedo Prihartono, MPH, Direktur Program Kesehatan YKB, pengenalan sex education pada remaja masih mengalami hambatan. Karena, sex education sering diartikan tabu atau sebatas pengertian melatih hubungan seks.



    REMAJA TERJERAT PORNOGRAFI

    [http://digilib.itb.ac.id/]
    Persepsi orangtua tentang pornografi di kalangan remaja di Kota Malang

    Adapun faktor penyebab remaja terjerat dalam pornografi diantaranya meliputi media massa (media cetak, media elektronik) dan lingkungan teman sebaya, keluarga, masyarakat serta faktor internalisasi individu seperti kurang bisa membawa diri, ingin cepat terkenal dan ingin dianggap dewasa.

    Label:


    |

    Landasan Kependidikan (4)
    Rabu, 19 September 2007
    05.23
    Kumpulan materi untuk Mata Kuliah Landasan Kependidikan (Pak Udin) 

    Mengenali Seksualitas Balita..!

    1/22/2007

    Jakarta, Selasa

    Seksualitas dan perasaan seksual manusia dimulai jauh sebelum bayi lahir dan terus berlangsung hingga kehidupannya berakhir.
    Menurut hasil penelitian yang dilakukan Kinsey Institute, segera setelah lahir semua bayi yang normal akan mengalami perubahan hormonal. Dalam satu atau dua hari, pasokan hormon testosteron dan estrogen akan menurun secara drastis. Pada bayi laki-laki hormon testosteron akan meningkat sebulan kemudian. Selama sebulan itu pasokan hormon tetap tinggi. Setelah itu pasokan hormon akan menurun hingga tingkat terendah. Keadaan itu akan terus berlangsung hingga anak-anak mengalami perubahan hormonal lagi semasa pubertas dimulai, yaitu sekitar usia 8-12 tahun.

    Untuk itulah orangtua harus mengenali sekaligus mengambil langkah tepat untuk membantu perkembangan seksualitas balita. Hal yang harus dikenali antara lain:
    Kenal Identitas Kelamin


    Perkembangan tubuh seksual anak tidak sepesat intelektualitas dan kejiwaannya. Namun, pada usia balita hingga kanak-kanak ini terjadi perubahan penting pada perkembangan seksual anak.

    "Orang memperlihatkan betapa beragamnya perkembangan seksual mereka di masa kanak-kanak dan banyak faktor yang turut mempengaruhi. Meski demikian, di antara berbagai perbedaan ini ada tahapan perkembangan yang umum terjadi pada setiap orang," tulis Robert Crooks dan Karla Baur.

    Menurut Kinsey Institute, sejak lahir hingga usia tiga tahunan seorang anak menemukan identitas jenis kelaminnya (gender identity). Setiap orangtua pasti akan menghadapi masa anak mulai mempertegas siapa dirinya dan termasuk golongan mana.

    Anda ingat bagaimana mereka menyatakannya? "Hei, aku cewek, kamu cowok. Cewek kalau pipis jongkok, dong!" Begitu kurang lebih yang sering kita dengar saat balita mulai mengenal identitas kelaminnya.

    Pada masa ini pengaruh lingkungan atau biologis sangat kuat dan pengenalan identitas diri ini biasanya tidak berubah lagi selamanya. Itu sebabnya orangtua sangat dianjurkan untuk membantu anak-anak mengenal identitas kelaminnya secara jelas agar mereka tidak bingung.

    Kadang kita temukan kasus orangtua tanpa maksud buruk dan tanpa sadar telah menyebabkan anak mengalami keraguan mengenai jenis kelaminnya. Saya ini perempuan atau laki-laki? Kalau perempuan mengapa saya diperlakukan seperti laki-laki? Demikian juga sebaliknya.

    Saking besarnya keinginan orangtua memiliki anak perempuan, bayi laki-lakinya didandani seperti perempuan dan dibelikan boneka. Perlakuan seperti ini akan menyebabkan anak kesulitan mengenal indentitas kelaminnya.
    Tahu Peran Jenis Kelamin


    Di usia tiga tahun anak mulai mengenal apa yang disebut dengan peran jenis kelamin (gender role), yaitu kesadaran tentang apa yang lazim dilakukan laki-laki dan perempuan.

    Dasar dari pengetahuan peran jenis ini adalah pengenalan identitas kelamin.

    Kesadaran ini juga yang kelak akan membuat anak menentukan hidupnya dan memilih pekerjaan. Lalu, bagaimana anak mengenal peran jenis kelaminnya?

    Biasanya ada dua cara. Pertama, belajar dari orangtua (sebagai figur yang paling dekat) dan teman-teman sejenisnya. Anak laki-laki meniru tingkah laku ayah atau figur penggantinya seperti kakek atau paman. Dalam psikologi, perkembangan ini disebut imitasi. Mereka juga belajar tentang peran jenis dengan meniru tindakan atau apa yang dilakukan oleh sesama anak laki-laki.

    Kedua, anak belajar peran jenis dari lawan jenisnya. Anak laki-laki tahu tentang apa yang diharapkan untuk dilakukan anak perempuan dari melihat tingkah ibunya dan apa yang dilakukan oleh anak perempuan. Dengan memahami peran dari lawan jenisnya ia jadi tahu peran apa yang diharapkan dari jenis kelaminnya sendiri.

    Mungkin sering kita dengar bagaimana anak-anak mengungkapkan pengenalan mereka tentang peran jenis kelamin. "Hei, kamu ’kan cewek, masa main robot-robotan?"

    Ketika di pertokoan atau di taman bermain, kadang kita menjumpai anak-anak yang menunjukkan dengan jelas bagaimana mereka melakukan imitasi. Misalnya, anak laki-laki menirukan gaya jalan ayahnya secara persis. Anak perempuan biasanya ingin memakai lipstik dan kutek seperti ibunya.
    Memiliki Kesadaran yang Kuat


    Seperti diungkapkan Kinsey Institute, anak-anak dengan keyakinan kuat tentang identitas dan peran jenis kelaminnya ketika dewasa akan bersikap lebih fleksibel menyangkut maskulinitas dan femininitas.

    Ide atau gagasan tentang tingkah laku yang seharusnya dilakukan mereka atau lawan jenisnya juga tidak terlalu kaku. Sikap semacam inilah yang semakin dibutuhkan oleh peradaban, yaitu meletakkan kedua jenis kelamin ini secara setara, tidak ada yang lebih superior maupun inferior.

    Lebih dari itu, biasanya mereka tidak akan cemas atau ragu meski sebagai anak laki-laki suka memasak dan sebaliknya anak perempuan lebih suka ikut ayah ke bengkel mobil daripada belanja ke supermarkat bersama ibu. Perlahan tapi pasti mereka bisa menjelaskan dengan yakin bahwa dirinya tetap laki-laki dan perempuan, bukannya banci atau homoseksual, meskipun tidak melakukan sesuatu yang lazim diperbuat orang-orang dari sesama jenisnya.

    Sikap mau tahu dan kepedulian orangtua untuk masa perkembangan ini sangatlah bermanfaat. Bila orangtua mendidik secara androgini sesuai tuntutan zaman, anak tidak akan mengalami kebingungan identitas kelamin. Perkembangan zaman menuntut agar kita memperlakukan setara dan memberi hak yang sama bagi anak-anak untuk melakukan hal yang semula dianggap hanya untuk perempuan atau laki-laki.

    Yang paling utama adalah tumbuhnya kesadaran pada anak maupun orangtua bahwa proses perkembangan seksual harus dicermati, bukan disikapi dengan kepanikan dan kekhawatiran yang berlebihan.
    Pentingnya Pengetahuan Seks yang Benar ..!


    Pengetahuan seks yang benar yang dimiliki orangtua akan sangat mempengaruhi tumbuh kembang kejiwaan anak.

    Beberapa hal atau peran yang dapat dimainkan orangtua seperti dijelaskan psikolog Dra. Ieda Poernomo Sigit Sidi, sebagai berikut:

    Perhatikan perkembangan anak dan perilakunya dalam kaitan dengan perkembangan seksualnya. Dalam perkembangannya anak juga mengalami perubahan seksual sesuai pertumbuhan fisik dan mentalnya.

    Ajak anak mengenali tubuhnya dan beritahu kegunaannya. Misalnya hidung untuk penciuman, mata untuk melihat, mulut untuk bicara dan makan, telinga untuk mendengar, perut untuk mengolah makanan, kaki untuk berjalan, tangan untuk memegang, dan kelamin untuk buang air kecil.

    Beritahukan bahwa ia akan mengalami perubahan sesuai perkembangan tubuhnya. Dia akan tumbuh seperti orang dewasa dan tidak perlu cemas menghadapinya karena perkembangan itu menunjukkan bahwa dia normal. Ayah dan ibu bisa menggunakan gambar ilustrasi yang ada di buku-buku anatomi reproduksi.

    Amati perilaku seksual anak, misalnya bagaimana dia memperhatikan dan memperlakukan kelaminnya.

    Sejak balita ajarkan anak cara membasuh kelaminnya sesudah buang air kecil dan besar.
    Biasakan anak mengenakan pakaian dalam yang bersih.

    Dengarkan pertanyaan anak seputar perkembangan seksualnya. Kalau Anda tidak bisa menjawabnya saat itu, jangan segan untuk berterus terang. Sesudah itu carilah informasi yang diperlukan. Anda bisa mencari buku yang memuat informasi tersebut atau berkonsultasi kepada ahli (psikolog). Kemas informasi yang Anda peroleh dan sampaikan dengan bahasa yang dipahami anak sesuai perkembangan usianya.

    Kalau anak bertanya, dari mana dia lahir? Jawablah terus terang, "Dari kelamin ibu." Lanjutkan dengan penjelasan bahwa Tuhan menciptakan kelamin perempuan seperti itu untuk "jalan lahir" anak. Bagaimana bisa begitu? Katakan bahwa hal tersebut merupakan kebesaran Tuhan. Dalam keadaan tertentu, bayi tidak bisa lahir lewat jalan biasa, yaitu kelamin ibu, terpaksa dilakukan operasi. Dokter ahli kebidanan dan penyakit kandungan melakukannya di rumah sakit atau rumah bersalin.

    Jelaskan bahwa Tuhan menciptakan kelamin laki-laki dan perempuan berbeda karena fungsinya juga tidak sama. Laki-laki tidak mengandung, melahirkan, dan menyusui anak karena tidak punya perangkat untuk itu. Perempuan diberi kodrat oleh Tuhan untuk mengandung, melahirkan, menyusui anak. Untuk itu Tuhan memberikan perangkatnya, yaitu rahim, bentuk kelamin seperti itu, dan payudara. Rahim disiapkan untuk pertumbuhan bayi di dalam kandungan, kelamin diciptakan seperti itu buat jalan lahir bayi, dan payudara tumbuh menjadi besar agar kelak bisa menyusui. Karunia ini harus dijaga dengan baik supaya bisa berfungsi dengan baik pada saatnya kelak, yaitu ketika ia sudah dewasa dan menikah.

    Laki-laki diberi Tuhan sperma atau sel mani yang memungkinkannya untuk menghamili, yaitu ketika sel mani bertemu dengan sel telur milik wanita. Laki-laki harus menjaga kelaminnya dengan baik agar tetap sehat, sel maninya baik, dan pada saatnya kelak mampu membuahi sel telur.

    Bicaralah tentang perkembangan seksual anak sesuai dengan tahapan usianya. Bicara dengan anak berumur tujuh tahun tentu berbeda dengan anak yang sudah berusia 15 tahun.

    Cari informasi supaya bisa menyiapkan anak dengan bekal pengetahuan yang cukup, sehingga dia bisa menjaga perilaku seksualnya dengan baik, tidak terpengaruh lingkungan yang menyesatkan, mencoba-coba, dan mudah dibujuk, serta bisa menjaga dirinya dengan baik, termasuk melindungi diri dari pelecehan seksual dan bahkan perkosaan. Pelajari, bagaimana cara bicara dengan anak tentang perilaku seksualnya. Meminta bantuan ahli sangat dianjurkan.

    Amati pergaulan anak di abad ini. Perhatikan acara di televisi dan radio. Ikuti perbincangan di masyarakat, sehingga Anda bisa memperoleh gambaran yang tepat mengenai kondisi dan situasinya. Jangan terperangkap oleh pikiran sendiri, apalagi menganggap dunia masih "aman".

    Tentukan rambu-rambu yang Anda inginkan untuk diperhatikan anak dalam bergaul. Beritahukan macam-macam lingkungan atau situasi yang harus diwaspadainya. Jangan hanya sekadar melarang tanpa penjelasan.

    Label:


    |

    Landasan Kependidikan (3)
    05.20
    Kumpulan materi untuk Mata Kuliah Landasan Kependidikan (Pak Udin)

    Pendidikan Anak Usia Dini


    Pendidikan Anak Usia Dini atau disingkat PAUD adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.

    Pendidikan anak usia dini merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik (koordinasi motorik halus dan kasar), kecerdasan (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual), sosio emosional (sikap dan perilaku serta agama) bahasa dan komunikasi, sesuai dengan keunikan dan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini.

    Ada dua tujuan diselenggarakannya pendidikan anak usia dini yaitu:

    * Tujuan utama: untuk membentuk anak Indonesia yang berkualitas, yaitu anak yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan tingkat perkembangannya sehingga memiliki kesiapan yang optimal di dalam memasuki pendidikan dasar serta mengarungi kehidupan di masa dewasa.
    * Tujuan penyerta: untuk membantu menyiapkan anak mencapai kesiapan belajar (akademik) di sekolah.

    Bentuk Satuan Pendidikan Anak Usia Dini

    Menurut Pasal 28 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bentuk satuan pendidikan anak usia dini dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:

    Jalur Pendidikan Formal

    Terdiri atas Taman Kanak-kanak dan Raudlatul Athfal (RA) yang dapat diikuti anak usia lima tahun keatas. Termasuk di sini adalah Bustanul Athfal (BA).

    Jalur Pendidikan Non Formal

    Terdiri atas Penitipan Anak, Kelompok Bermain dan Satuan PAUD Sejenis. Kelompok Bermain dapat diikuti anak usia dua tahun keatas, sedangkan Penitipan Anak dan Satuan PAUD Sejenis diikuti anak sejak lahir, atau usia tiga bulan.
    Jalur Pendidikan Informal

    Terdiri atas pendidikan yang diselenggarakan di keluarga dan di lingkungan. Ini menunjukkan bahwa pemerintah melindungi hak anak untuk mendapatkan layanan pendidikan, meskipun mereka tidak masuk ke lembaga pendidikan anak usia dini, baik formal maupun nonformal.

    Sumber: Wikipedia Indonesia

    Label:


    |

    Landasan Kependidikan (2)
    05.12
    Kumpulan materi untuk Mata Kuliah Landasan Kependidikan (Pak Udin)

    PERANAN SEKOLAH DALAM PENDIDIKAN SEKS, SEBUAH TINJAUAN TEORITIS


    Yunita MariaYeni, S.Pd.

    I. PENDAHULUAN

    Dewasa ini, kehidupan seks bebas telah merebak ke kalangan kehidupan remaja dan anak. Hal ini dapat kita semak melalui penuturan yang disampaikan oleh Mestika (1996) yang merangkum hasil penelitian para pengamat masalah sosial remaja di beberapa kota besar. Hasil penelitian tersebut antara lain: Sarwono (1970) meneliti 117 remaja di Jakarta dan menemukan bahwa 4,1% pernah melakukan hubungan seks. Beberapa tahun kemudian, Eko (1983) meneliti 461 remaja, dan dari penelitian ini diperoleh data bahwa 8,2% di antaranya pernah melakukan hubungan seks dan 10% di antaranya menganggap bahwa hubungan seks pra nikah adalah wajar.

    Di Semarang, Satoto (1992) mengadakan penelitian terhadap 1086 responden pelajar SMP-SMU dan menemukan data bahwa 4,1% remaja putra dan 5,1% remaja putri pernah melakukan hubungan seks. Pada tahun yang sama Tjitarra mensurvei 205 remaja yang hamil tanpa dikehendaki. Survei yang dilakukan Tjitarra juga memaparkan bahwa mayoritas dari mereka berpendidikan SMA ke atas, 23% di antaranya berusia 15 - 20 tahun, dan 77% berusia 20 - 25 tahun.

    Selain kehidupan seks bebas, kejahatan seks terhadap anak-anak saat ini ternyata tidak saja dilakukan oleh orang-orang yang tidak dikenal oleh korbannya. Dalam beberapa kasus yang terjadi, kejahatan seks justru dilakukan oleh orang-orang yang dekat dengan kehidupan anak. Rangkuman terhadap kejahatan seks ini ditampilkan dalam sarasehan yang bertemakan "Fenomena Tindakan Seks Terhadap Anak-Anak" yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Wanita - Lembaga Penelitian Unair Surabaya dua tahun yang lalu dan pernah dimuat di Suara Pembaruan tahun 1996.

    Data yang ada mengenai kejahatan seks, selama tahun 1995 terjadi 12 kasus kejahatan seks yang dilakukan oleh orang tua kandung maupun tiri, 7 kasus dilakukan oleh saudaranya, 4 kasus oleh guru dan oleh teman atau kenalan sebanyak 49 kasus. Keadaan seperti itu jelas sangat memperhatikan.

    Kebutuhan akan pemahaman yang benar tentang hakikat seksualitas manusia di kalangan remaja kian mendesak untuk dipenuhi jika peran media massa dalam mengkomunikasikan pesan-pesannya juga diperhatikan dengan seksama. Hal tersebut perlu mendapat perhatian, karena media massa dalam pesannya sering melecehkan seksualitas manusia walaupun tujuan utama dari media massa adalah semata-mata untuk menarik minat konsumen terhadap suatu barang dagangan. Kartono (1994) menyarankan agar format penyusunan dan penyajian di media massa diatur, sehingga materi maupun pesan yang disampaikan benar-benar bermuatan nilai-nilai pendidikan.

    Kehidupan seks bebas dan kejahatan yang terjadi belakangan ini adalah hal-hal yang perlu diketahui oleh remaja agar mereka dapat mengantisipasi dan mengatasi masalah tersebut. Remaja masa kini perlu disadarkan akan perlunya sikap menghargai dan bertanggung jawab terhadap diri mereka sendiri dan lingkungannya demi masa depan yang cerah. Remaja juga perlu ditumbuhkan kesadaran akan perlunya suatu sikap menghargai dan tanggung jawab terhadap dirinya dan lingkungan melalui informasi tentang hakikat seksualitas pada diri mereka dan pada diri manusia pada umumnya secara benar.

    Informasi yang benar tersebut dapat diberikan melalui pendidikan seks. Pendidikan seks ini dapat diberikan oleh orang tua ataupun oleh pihak sekolah. Berikut ini kita akan mengkaji peranan sekolah dalam pendidikan seks kepada siswa-siswanya.
    II. PEMBAHASAN

    Pada dasarnya pendidikan seks yang terbaik adalah yang diberikan oleh orang tua sendiri. Diwujudkan melalui cara hidup orang tua dalam keluarga sebagai suami-istri yang bersatu dalam perkawinan (Aryatmi, 1985; Tukan, 1989; Howard, 1990). Pendidikan seks ini sebaiknya diberikan dalam suasana akrab dan terbuka dari hati ke hati antara orang tua dan anak. Kesulitan yang timbul kemudian adalah apabila pengetahuan orang tua kurang memadai (secara teoritis dan objektif) menyebabkan sikap kurang terbuka dan cenderung tidak memberikan pemahaman tentang masalah-masalah seks anak. Akibatnya anak mendapatkan informasi seks yang tidak sehat. Tentang hal ini Davis (1957) menyimpulkan hasil penelitiannya sebagai berikut: informasi seks yang tidak sehat pada usia remaja mengakibatkan remaja terlibat dalam kasus-kasus berupa konflik-konflik dan gangguan mental, ide-ide yang salah dan ketakutan-ketakutan yang berhubungan dengan seks (Bibby, 1957).

    Melihat kenyataan tersebut, jelas keluarga membutuhkan pihak lain dalam melengkapi upaya pembelajaran alami terhadap hakikat seksualitas manusia. Pihak lain yang cukup berkompeten untuk menambah dan melengkapi pengetahuan orang tua, menjadi perantara antara orang tua dan anak dalam memberikan pendidikan seks adalah sekolah. Hal ini didukung oleh Killander (1971) yang menjelaskan peran sekolah sebagai lembaga yang mempunyai situasi kondusif serta edukatif tempat berlangsungnya proses pendidikan demi kedewasan anak didik. Sekolah merupakan lingkungan kedua setelah keluarga, di mana anak mendapatkan kasih sayang, pendidikan dan perlindungan (Wirawan, 1986).

    Oleh karena itu, pendidikan seks di sekolah merupakan komplemen dari pendidikan seks di rumah. Hal ini pernah ditegaskan oleh Pusat Kehidupan Keluarga di USA (Killander, 1971). Peran sekolah dalam memberikan pendidikan seks harus dipahami sebagai pelengkap pengetahuan dari rumah dan institusi lain yang berupaya keras untuk mendidik anak-anak tentang seksualitas dan bukan berarti bahwa sekolah mengambil porsi orang tua (Killander, 1971; Tukan,1992).
    Tujuan pendidikan seks di sekolah seperti yang diungkapkan oleh Federasi Kehidupan Keluarga Internasinoal ialah:
    Memahami seksualitas sebagai bagian dari kehidupan yang esensi dan normal.
    Mengerti perkembangan fisik dan perkembangan emosional manusia.
    Memahami dan menerima individualitas pola perkembangan pribadi.
    Memahami kenyataan seksualitas manusia dan reproduksi manusia.
    Mengkomunikasikan secara efektif tentang pertanyaan-pertanyaan yang berkenaan dengan seksualitas dan perilaku sosial.
    Mengetahui konsekuensi secara pribadi dan sosial dari sikap seksual yang tidak bertanggung jawab.
    Mengembangkan sikap tanggung jawab dalam hubungan interpersonal dan perilaku sosial.
    Mengenal dan mampu mengambil langkah efektif terhadap penyimpangan perilaku seksual.
    Merencanakan kemandirian di masa depan, sebuah tempat dalam masyarakat, pernikahan dan kehidupan keluarga.
    Bagi guru yang memberikan pendidikan seks, Killander (1971) mengungkapkan bahwa guru mempunyai peran yang besar, yaitu :
    Membantu menyeleksi sasaran sosialitas dan pribadi yang dapat dicapai oleh anak didik.
    Membantu siswa untuk menyadari bahwa sarana tersebut sesuai untuk mereka dan membimbing mereka untuk menerimanya sebagai bagian dari hidup.
    Membimbing mereka untuk memilih aktivitas-aktivitas dan pengalaman yang baik dalam merencanakan masa depan.
    Oleh karena itu, Flake-Hobson (Joice, 1996) menyatakan bahwa pendidikan seks di sekolah harus meliputi pengajaran antara lain:
    Mengizinkan anak untuk berperan sesuai dengan jenis kelamin dalam ekspresi mereka, kepribadian mereka dan interaksi mereka dengan teman-temannya di kelas.
    Mengajak siswa untuk berdiskusi mengenai hal-hal yang berkenaan dengan sopan santun terhadap lawan jenis.
    Memperkenalkan siswa terhadap perkembangan peran seks. Misalnya seorang perempuan akan menjadi siswa yang berstatus ibu rumah tangga atau isteri.
    Menyediakan alat-alat audio visual (pandang dengar - red) mengenai perkembangan peran seks kepada siswa dan mengajak mereka untuk berdiskusi.
    Memperkenalkan siswa kepada bermacam-macam peran seks antara laki-laki dan perempuan.
    Tukan (1993) menguraikan materi pendidikan seks di sekolah sebagai berikut:
    Siswa SD kelas 5 dan 6

    Tentang ciri seksualitas primer dan sekunder seorang pria, proses terjadinya mimpi basah, menjaga kebersihan kelamin, memakai bahasa yang baik dan benar tentang seks, kepribadian seorang siswa.
    Siswi kelas 5 dan 6

    Tentang ciri seksualitas primer dan sekunder seorang wanita, proses terjadinya ovulasi dan menstruasi, keterbukaan pada orang tua, serta pendidikan dan kepribadian wanita.
    Siswa SLTPK kelas 2 dan 3

    Memperluas apa yang telah dibicarakan di SD kelas 5 dan 6, yakni identitas remaja, pergaulan, dari mana kau berasal, proses melahirkan, dan tanggung jawab moral dalam pergaulan.
    Siswa SLTA kelas 1 dan 2

    Mendalami lagi apa yang telah diberikan di SD dan SLTP yakni secara psikologi pria dan wanita, paham keluarga secara sosiologi, masalah pacaran dan tunangan, komunikasi, pilihan cara hidup menikah atau membujang, pergaulan pria dan wanita, tubuh manusia yang bermakna, penilaian etis yang bertanggung jawab sekitar masalah-masalah seksual dan perkawinan.

    Dengan demikian, peranan sekolah dalam memberikan pendidikan seks merupakan suatu tanggung jawab moral bagi perkembangan anak didik. Peranan sekolah harus dimengerti bahwa sekolah merupakan suatu institusi yang bersifat komplementer dan membantu orang tua dalam memperlancar tugas dan peranan orang tua terutama dalam menanamkan sikap dan perilaku seksual anak terhadap hakikat seksuaitas manusia.

    Pendidikan seks haruslah dipandang sebagi suatu proses pengalihan nilai-nilai tentang seks yang benar yang didapat anak sebagai bimbingan, teladan dan kepedulian para orang tua dan pendidik dalam membantu anak membangun sikap batin yang sesuai dengan kodrat manusia, tidak hanya akal budi tetapi juga hati nurani. Pendidikan seks juga mempunyai fungsi memberikan landasan dalam membangun suatu hubungan yang objektif dan wajar antara anak dengan tubuhnya.

    Daftar Pustaka
    Bibby Cyrill, 1957, Sex Education: A GUIDE FOR PARENTS, TEACHER AND YOUTH LEADER, New York, St. Martin's.
    Kartono, Kartini, 1985, PERANAN KELUARGA MEMANDU ANAK, Rajawali, Jakarta.
    Killander, Frederick, 1971, SEX EDUCATION IN THE SCHOOL, New York, The Macmillan Company.
    KAJ, 1984, PENDIDIKAN KEHIDUPAN KELUARGA, Obor, Jakarta.
    Tukan, Johan Suban, 1991, BINA REMAJA, Galaxy Puspa Mega, Jakarta.

    Yunita Maria Yeni M., S.Pd, Guru Bimbingan Konseling SLTPK V BPK Penabur KPS Jakarta.

    Label:


    |

    Landasan Kependidikan (1)
    05.00
    Kumpulan materi untuk Mata Kuliah Landasan Kependidikan (Pak Udin)

    Kesehatan

    Pendidikan Seks Sebaiknya Sejak Usia 10 Tahun
    04 September 2003

    TEMPO Interaktif, Jakarta:Pendidikan kesehatan reproduksi lebih baik diberikan sejak remaja (10-14 tahun) dan bukan pada masa SMA dan mahasiswa.
    Menurut Direktur Pelaksana PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia) Zarfiel Tafal hal ini bertujuan agar para remaja tadi sejak dini telah mengenali keadaan tubuhnya dan dapat menjaga dirinya masing-masing dari tindakan aseksual.

    Zarfiel mengatakan usia SMA dan mahasiswa dianggap sudah terlambat karena banyak remaja telah melakukan hubungan seks dan lebih membutuhkan pengobatan yang membutuhkan biaya yang lebih mahal.

    "Sedangkan pendidikan seks bagi remaja merupakan tindakan preventif dan memberikan ketahanan diri agar mereka kuat terhadap tindakan kriminal dan pelecehan seksual," ujar Zarfiel, Kamis (4/9) siang.

    Zarfiel menambahkan, saat ini PKBI telah memperjuangkan dan melakukan advokasi agar pendidikan seks dapat masuk dalam kurikulum sekolah, apakah menjadi bidang studi tersendiri atau ekstrakurikuler.

    Pendidikan kesehatan reproduksi sendiri dimaksudkan agar para pelajar dapat memahami sistem kesehatan reproduksinya, implikasinya terhadap fungsi organ tubuh itu sendiri maupun hubungan komunikasi dengan orang lain.

    "Agar mereka memahami bahwa organ tubuh yang ada pada mereka harus dijaga dengan baik karena suatu hari nanti organ tubuh tersebut akan sangat berguna bagi masa depan mereka," jelas Zarfiel.

    Berdasarkan hasil penelitian PKBI yang dilakukan di Manado, Sulawesi Utara, tahun lalu, diketahui bahwa 30 persen siswa SMA laki-laki sudah melakukan hubungan seksual dengan teman sebayanya. Artinya, lanjut Zarfiel, siswa yang mengenyam pendidikan SMA pun telah melakukan hubungan yang seharusnya belum boleh mereka lakukan. "Apalagi yang tidak sekolah," ujarnya.

    Selain itu, tingkat ekonomi juga melatarbelakangi terjadinya hubungan seksual pada usia muda. Biasanya hubungan tersebut terjadi pada kalangan ekonomi atas dan bawah.

    Untuk ekonomi atas, banyak yang mampu melakukan hubungan seks bebas disebabkan memiliki fasilitas yang mendukung misalnya uang dan rumah kosong. Sedangkan untuk kalangan bawah alasannya karena mereka tidak punya hiburan lain.

    "Misalnya anak tukang cuci dan anak tukang becak berpacaran karena mereka sering ditinggal oleh kedua orangtuanya maka mereka tidak punya hiburan lain kecuali hubungan seksual," jelasnya.

    Selain untuk kalangan pelajar, kata Zarfiel, para guru juga perlu diberdayakan dalam pemberian pendidikan kesehatan reproduksi karena di Indonesia banyak terjadi kasus pelecehan seksual terhadap murid yang dilakukan oleh gurunya sendiri.

    Diah A Candraningrum - Tempo News Room

    =================================

    Pendidikan Sex, Seperti Apa?
    [sumber]

    Oleh Masfufah, S.psi *
    Akhir 1997, majalah Gatra-bekerja sama Laboratorium Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (LIP FISIP-UI)-- menjaring 800 responden remaja berusia 15-22 tahun di Jakarta. Hasilnya, sebanyak 45,9% (367 responden) memandang berpelukan antarlawan jenis adalah hal wajar, 47,3% (378 responden) membolehkan cium pipi, 22% tak menabukan cium bibir, 11% (88 orang) oke saja dengan necking alias cium leher atau cupang, 4,5% (36 responden) tak mengharamkan kegiatan raba-meraba, 2,8% (22 responden) menganggap wajar melakukan petting. Dan 1,3% (10 responden) tak melarang senggama di luar nikah.


    Sebuah baseline survey di Semarang yang melibatkan 127 orang responden, yang dilakukan Pilar-PKBI Jawa Tengah yang bekerjasama dengan Tim Embrio 2000, pada tahun 2000 di Semarang menujukkan bahwa 48% responden pernah meraba daerah sensitif saat berpacaran, 28% responden telah melakukan petting dan 20% melakukan hubungan seksual.3
    Setiap tahun dari 3000 remaja --sekitar 1 diantara 4 remaja yang secara seksual aktif tertular Penyakit Menular Seksual (PMS). Survei juga didapati, bila remaja memiliki rata-rata tertinggi tertular gonorrhea dibanding dengan orang dewasa yang seksual aktif dan wanita berumur 20-44 tahun.

    Inilah angka-angka menakutkan berkaitan dengan perkembangan remaja kita hari ini. Persoalan ini menunjukkan kepada kita bahwa perkembangan seksualitas anak dan remaja kita, dari tahun ke tahun semakin bertambah.

    Masalahnya, perkembangan itu bukan bertambah baik tapi justru semakin mengerikan. Sebab, umumnya, perkembangan hubungan seksualitas anak dan remaja kita diakibatkan adanya persepsi yang keliru mengenai pacaran. Banyak orang tua tertipu penampilan anak-anak mereka. Di rumah, dia adalah anak yang sopan, pendian dan terkesan lugu. Namun diluar sana, dia justru mengahkan orang-orang dewasa.

    Bahkan, mungkin lebih gila dari sekedar itu.
    Konseling Sahaja-PKBI DIY pernah meneliti menyangkut persoalan remaja, khususnya menyangkut hubungan pacaran. Penelitian –yang sebenarnya merupakan rekap konsultasi itu—dilakukan sejak tahun 1998 hingga 1999 dilakukan terhadap 1.514 klien. Berdasarkan laporan itu, hampir separuh (48 persen) dari 1.514 klien yang melakukan konsultasi, mengalami permasalahan seputar pacaran. Misalnya; persoalan komunikasi (30 persen), taksir-menaksir (25 persen), perselingkuhan (4 persen) serta permasalahan patah hati, kekerasan, persiapan pernikahan, beda agama, konflik dengan pihak ketiga dan lain sebagainya.

    Namun yang lebih menarik dari penelitian itu adalah keberanian para anak dan remaja kita dalam melakukan aktifitas seksual yang seharusnya hanya dilakukan oleh pasangan suami-istri yang syah.

    Mengapa terjadi masalah seperti ini? Jawabannya mungkin panjang. Hanya saja, salah satu factor utama adalah masalah berkaitan dengan pendidikan seksual anak-anak kita. Atau bisa juga disebut dengan ‘pendidikan kedewasaan’.

    Istilah pendidikan seks, sering dipahami keliru banyak orang seolah-olah mengajarkan pendidikan hubungan intim layaknya apa yang dilakukan suami-istri. Padahal, yang dimaksud dari makalah ini adalah tidaklah demikian.

    Sering kita menghadapi pertanyaan sepele dari buah hati kita menyangkut masalah seksual. Misalnya; saat anak bertanya, “Umi, dari mana adik lahir? Kenapa ibu bisa hamil? Pacaran itu boleh nggak sih? Umi, kenapa sih wanita bisa hamil sedang pria tidak?

    Biasanya, para orangtua, senantiasa menghadapi pertanyaan ini dengan emosional. Ada tiga cara yang dilakukan orangtua:

    Pertama,
    langsung menampar atau membentak. “Husss! Anak kecil tak boleh bicara itu. Awas kalau diulangi lagi!.

    Kedua, berusaha menutup-nutupi atau mengalihkan perhatian anak. Dan yang ketiga, langsung menjawabnya, meski dalam kondisi hati seperti gunung berapi yang ingin ‘meledak” dan dengan jawaban yang pas-pasan.

    Ketiga, Tapi pilihan yang terakhir hanya dilakukan segelintir orang saja. Yakni mendampinginya dengan jawaban-jawaban sesuai kebutuhannya. *Lukman-Al-hakim dot com

    ** Penulis adalah Konselor Psikologi Anak SD Luqmanul Hakim,PP Hidayatullah, Surabaya. Selain menjadi pengasuh rubrik curhat Majalah Remaja MUSLIMAH Jakarta, kini sedang menyiapkan buku bertema ‘Pendidikan Seks untuk Anak.

    ===================================














    Label:


    |